Ket photo : Muhammad Aras Prabowo
Penulis adalah Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) dan Kandidat Doktor Ilmu Akuntansi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
MAP; Kemandirian Ekonomi Dan Pandangan Sempit Pengelolaan Dana Haji
NASIONAL,--Berdasarkan sejarah pelaksanaan haji, kurang lebih 40 kali kegiatan haji ditutup dengan berbagai alasan yang melatarbelakangi.
Sembilan kali pelaksanaan haji ditutup karena virus/penyakit menular. Diantaranya, Tahun 1814 karena wabah tha’un, Tahun 1837 dan 1846 karena epidemi dan kolera, Tahun 1895 dan 1987 karena typus dan meningitis. Tahun 2020 dan sekarang karena Covid-19.
Sama seperti tahun lalu, penundaan pelaksanaan haji tahun ini menuai perdebatan yang sangat alot. Diperparah karena banyak spekulasi dan informasi hoaks yang beredar di tengah masyarakat.
Misalnya, politisi Partai Ummat Neno Warisman dalam sebuah video menjelaskan bahwa dana haji sudah dipakai hingga Rp 38,5 Triliun oleh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Neno bahkan turut membacakan sebuah artikel yang dimuat oleh situs Gelora, yang terbit pada 2020 silam. Berita tersebut sudah dikonfirmasi hoax oleh beberapa situs pemeriksa fakta.
Sementara, Wakil Ketua Umum Partai Ummat, MS Kaban meminta Presiden Jokowi untuk mengundurkan diri dan tidak usah menjadi pemimpin jika tidak bisa memberangkatkan jemaah haji.
Menurutnya, ketidakmampuan itu hanya menjadi dosa jika terus memaksa menjadi penguasa. Dan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dianggap tidak bermanfaat untuk umat muslim. Menurutnya, pembatalan ibadah haji tidak sesuai rukun Islam.
Jika dicermati, bahwa isu haji ini dipolitisasi oleh sebagian orang untuk mengkritik pemerintah secara tidak sehat dan diperparah oleh informasi hoaks. Mengenai pengelolaan dana haji oleh pemerintah dan lambatnya diplomasi mengenai kuota haji Indonesia dari Kerajaan Arab Saudi harus diberikan masukan yang mampu melahirkan solusi.
Seharusnya tidak malah menimbulkan kekhawatiran kepada masyarakat, bahwa seolah-olah dana tersebut akan disalahgunakan.
Pengelolaan dana haji Indonesia diatur dalam UU 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji dan PP 5/2018 tentang Pelaksanaan UU 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji. Prinsip pengelolaannya harus efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
Menurut saya pengelolaan dana haji di Indonesia sangat aman karena diatur oleh perundang-undangan, meskipun potensi penyelewengan/korupsi tetap ada. Akan tetapi, Negara memiliki tanggungjawab penuh.
UU 34/2014 telah mengatur jika terjadi penyelewangan atas dana haji maka resiko tersebut akan ditanggung oleh pemerintah. Pemerintah akan mengganti seluruh kerugian atas dana calon jemaah.
Soal isu bahwa dana yang telah disetorkan tidak bisa ditarik kembali kerena dipakai oleh pemerintah. Dalam UU 34/2014 Pasal 5 ayat 5 bahwa pengambilan saldo setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) dan/atau BPIH Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat dilakukan apabila Jemaah Haji membatalkan porsinya, baik karena meninggal dunia maupun alasan lain yang sah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Penyelenggaraan Ibadah Haji.
Dalam UU tersebut juga diatur jika terdapat selisih lebih setoran dana atas biaya haji yang telah ditetapkan.
Pasal 7 ayat 2 menyebutkan jika saldo setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus lebih besar daripada penetapan BPIH dan/atau BPIH Khusus tahun berjalan, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) wajib mengembalikan selisihnya kepada Jemaah Haji.
Artinya bahwa pengelolaan dana haji sangat mengedepankan prinsip efektif, efisien, transparan, dan akuntabel.
Soal pengawasan, dana haji dikelola oleh BPKH di bawah pengendalian Menteri Agama. Pengawasannya dilakukan secara internal dan eksternal.
Internal oleh Dewan pengawas, sedangkan eksternal adalah audit oleh Badan Pemeriksa keuangan Republik Indonesia (BPK RI) dan dilaporkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Pengeluaran dana haji hanya bisa dilakukan melalui persetujuan DPR RI.
Jika mengacu pada prinsip efektif dan efisien, dana haji dimungkinkan untuk dikelolah secara konvensional/ekonomis selama diperuntukan untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia.
Penggunaan untuk pembangunan infrastruktur adalah terobosan yang sangat baik dan saya kira bukan hanya itu. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang menjadi penopang utama perekonomian Indonesia selama Covid-19 bisa dijadikan alternatif untuk meningkatkan manfaat dana haji kepada masyarakat menengah ke bawah.
Bank umum syariah yang telah ditunjuk oleh BPKH sebagai tempat penyetoran dana haji harus mampu memberikan dampak terhadap pemerataan kesejahteraan masyarakat.
Realitas yang dihadapi sampai saat ini adalah kesulitan akses pendanaan masyarakat menengah ke bawah sehingga masalah kemiskinan dan pengangguran masih sulit teratasi.
Pengelolaan dana haji harus mampu mendorong masyarakat dalam kemadirian ekonomi. Jika itu bisa diwujudkan, maka pengelolaan dana haji telah mampu merealisasikan amanat UU.
Yaitu pasal 2 huruf (c) berasaskan manfaat dan pasal 3 huruf (c) mengenai pengelolaan keuangan haji bertujuan meningkatkan manfaat bagi kemaslahatan umat Islam.
Menurut saya pengelolaan dana haji tidak cukup dengan 4 pinsip, namun harus mempertimbangkan nilai ekonomis agar berdampak luas bagi kemaslahatan bagi masyarakat Indonesia.
Hal yang perlu digaris bawahi, pengelolaan dana haji di Indonesia masih sama dengan pengelolaan dana masjid. Kas masjidnya banyak, tapi masih ada orang yang kelaparan di sekitar masjid. Dana haji dikumpulkan hanya untuk membiayai penyelenggaraan haji, belum mampu dikelola secara ekonomis.
Padahal dana haji memiliki potensi yang sangat besar untuk mendorong kemajuan dalam aspek kehidupan dan perekonomian. Pandangan pengelolaan dana sosial keagamaan di Indonesia masih sangat sempit, belum mampu membuat terobosan yang progresif.
Padahal Islam adalah agama rahmatan lil alamin yaitu agama yang merupakan bentuk rahmat dan rasa kasih sayang Allah SWT kepada seluruh alam semesta. Seharusnya dana haji harus dikelola dengan pendekatan rahmatan lil alamin, harus memberi mafaat seluas-luasnya. Bukan hanya umat Islam, tapi bagi semesta alam.
Saya kira metode ini akan mampu memecahkan pandangan sempit mengenai pengelolaan dana haji dan sosial keagamaan di Indonesia.
Tentu, prinsip transparan dan akuntabel harus dikedapankan agar pengelolaannya sesuai dengan mekanisme dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.(***)
Muhammad Aras Prabowo
Penulis adalah Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) dan Kandidat Doktor Ilmu Akuntansi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa