Muhammad Sabir Pengamat Politik Pinrang; "Ingatki, Begini Cara Cerdas Memilih Caleg 2019 |
PINRANG,--Dengan sistem demokrasi perwakilan yang berlaku di Indonesia saat ini, rakyat setuju menyerahkan pengelolaan negara ini di pundak para anggota Dewan.
Keputusan- keputusan penting, termasuk penyusunan konstitusi, yang diambil para wakil rakyat tersebut akan sangat menentukan masa depan bangsa.
Karena itu, seharusnya para wakil rakyat diambil dari jiwa-jiwa terbaik dari bangsa ini.
Namun, sudahkah jiwa-jiwa terbaik bangsa ini yang mengisi posisi penentu masa depan bangsa tersebut? Kenyataannya, beberapa tahun terakhir, sosok wakil rakyat, khususnya DPR, terpuruk dan menjadi sorotan publik.
Kinerja anggota DPR dinilai buruk dan bermasalah secara etika, mulai dari kunjungan ke luar negeri yang tidak jelas pertanggungjawabannya hingga pengadaan fasilitas kerja yang mewah.
Lebih memprihatinkan lagi adalah keterlibatan sejumlah anggota Dewan, yang hampir merata dari semua partai politik, dalam kasus korupsi.
Diikutip Kompascom, Berpijak dari kenyataan itu, Pemilihan Umum 2014 diharapkan dapat menghasilkan para legislator yang lebih baik, yang betul-betul bekerja untuk kepentingan bangsa di atas kepentingan lainnya.
Namun, sudahkah persiapan ke arah tersebut dilakukan, baik oleh partai politik maupun rakyat yang akan memilih wakilnya nanti di DPR/DPRD?
Melihat perilaku parpol, relatif belum ada perubahan yang signifikan dalam sistem perekrutan calon anggota legislatif (caleg) mereka.
Di beberapa parpol, kaderisasi dilakukan secara instan dengan membekali kader atau simpatisan, antara lain dengan visi misi parpol dan tugas kepartaian, dalam sebuah forum seperti seminar.
Kalangan elite parpol mengakui, cara itu belum cukup untuk menciptakan kader yang sebenarnya. Karena itu, tak heran jika kader yang dihasilkan banyak yang belum siap menjadi pejabat politik.
Ditambah lagi, realitas politik di Indonesia saat ini, orang masuk ke parpol umumnya orang yang mempunyai uang dan ambisi kekuasaan.
Menjelang pemilu, parpol sering kali merekrut kader secara dadakan, yaitu mereka yang mempunyai popularitas tinggi, seperti para pesohor. Dengan dikenal masyarakat, paling tidak elektabilitas mereka juga akan tinggi, apalagi mereka umumnya juga mempunyai modal uang.
Meski tidak dimungkiri ada dari beberapa pesohor yang memang kompeten, secara umum mereka benar-benar orang yang belum mengenal dunia politik.
Dengan kondisi seperti itu, ditambah dengan pola perekrutan bakal caleg dengan membuka pendaftaran caleg kepada umum yang dilakukan sejumlah parpol, bisa dipastikan masih jauh dari harapan akan muncul caleg-caleg yang kompeten.
Banyak tudingan bahwa mereka yang mendaftar tersebut pada umumnya hanyalah pencari kerja karena memang banyak yang belum pernah berkecimpung di bidang politik atau sosial kemasyarakatan.
Sejumlah parpol yang menggelar perekrutan calon secara terbuka beralasan calon yang mendaftar diseleksi secara ketat sehingga yang terseleksi sudah memenuhi kualifikasi sebagai caleg.
Parameter yang dipakai antara lain tingkat pendidikan calon yang sebagian besar sarjana (S-1), bahkan S-2 dan S-3. Pendidikan ini dipercaya menjadi parameter untuk mengukur integritas dan etika para calon dan salah satu penentu untuk membuat kualitas Dewan lebih bagus.
Relatif tidak ada parpol yang mensyaratkan mereka yang mendaftar berpengalaman di bidang sosial kemasyarakatan. Atau dengan kata lain, mereka ”terlatih” atau mempunyai jam terbang tinggi dalam kegiatan yang langsung bersentuhan dan untuk kepentingan masyarakat.
Diyakini, ini merupakan salah satu ukuran untuk melihat kompetensi mereka dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Kenyataannya, dengan pola perekrutan yang dilakukan parpol saat ini, tidak akan mudah bagi masyarakat untuk melihat mana caleg yang kompeten untuk menjadi wakil mereka.
Dari daftar caleg sementara (DCS) anggota legislatif yang diserahkan parpol kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat 224.000 caleg, sebanyak 6.578 caleg di antaranya untuk pusat. Sebagian dari mereka memang anggota DPR/ DPRD yang mencalonkan diri kembali dan sebagian lagi kader, termasuk kader baru, dari luar parpol.
Meskipun para incumbent atau petahana tersebut mencalonkan diri lagi, ini bukan jaminan bahwa mereka pasti berkompeten. Rakyat tetap harus cermat memilih karena bagaimanapun mereka adalah hasil dari pemilu yang tidak bisa dikatakan bersih dari kecurangan dan manipulasi. Bahkan disebut-sebut, hanya 50 persen anggota DPR saat ini yang murni dipilih rakyat. Para caleg yang bertarung pada Pemilu 2009 secara umum masih mengandalkan popularitas dan uang untuk ”membeli” suara rakyat dengan berbagai cara.
Modus pada Pemilu 2009, pertama, pembelian suara dilakukan dengan memberi uang atau materi lainnya kepada pemilih sebelum pemungutan suara atau pada masa kampanye.
Kedua, membeli suara dari calon lain dari parpol sama di daerah pemilihan yang sama setelah pemungutan suara. Ketiga, mencuri suara dari calon lain dari parpol sama di daerah pemilihan (dapil) yang sama. Terakhir, mencuri suara dari calon lain dari parpol lain di dapil sama.
Di sisi lain, kecerdasan rakyat masih rendah untuk dapat memilih para wakil mereka. Rakyat cenderung memilih calon-calon yang populer karena ”merasa” mengenal para calon tersebut, terutama melalui media massa. Rakyat juga cenderung memilih calon yang telah memberi ”sesuatu”, entah berupa uang atau bantuan lainnya. Selain itu, rakyat cenderung memberikan suara mereka kepada caleg dengan nomor urut kecil, terbukti 95 persen anggota DPR periode 2009-2014 menempati nomor urut kecil.
Apakah perilaku pemilih dan caleg nanti masih seperti pada Pemilu 2009? Ketika proses pencalegan tidak melalui perekrutan, bisa dipastikan calon yang ada tidak berbeda jauh dibandingkan calon pada Pemilu 2009. Akhirnya, rakyat yang harus lebih cerdas dalam memilih para calon wakilnya tersebut. Adalah tugas parpol dan pemerintah, juga media massa, untuk mencerdaskan pemilih.
Namun kenyataannya, parpol dalam menjalankan proses kaderisasi saja belum berjalan baik, apalagi mendidik pemilih untuk cerdas.
Demikian juga pemerintah, upaya yang dilakukan belum optimal. Juga media massa, ketika masih ada media massa yang berafiliasi dengan parpol atau caleg, atau bahkan milik petinggi parpol, harapan itu masih jauh. Diharapkan, hal-hal seperti itu juga menjadi perhatian masyarakat.
Selanjutnya memang tergantung dari rakyat karena sedikit banyak rakyatlah yang menentukan para wakilnya di DPR/DPRD. Dengan terobosan KPU tersebut, diharapkan rakyat mencermati para calon wakilnya agar dapat memilih yang terbaik, yang tidak sekadar populer atau yang telah memberi keuntungan sesaat.
Rakyat juga sebaiknya ikut mengawasi berjalannya proses pemilu, terutama setelah pemungutan suara, karena banyak kecurangan terjadi pada periode tersebut. Bagaimanapun rakyat juga yang akan dirugikan jika para calon yang terpilih hanya mengejar jabatan dan kekuasaan.(har/sbr)