Penulis : Arman kader IPMAL, PMII Pinrang. |
OPINI,--Setiap masa pasti memiliki tantangannya sendiri' itu artinya berakhirnya orde baru sekaligus menciptakan masa baru, tentu juga dengan tantangannya. Lalu, apa gerangan tantangannya itu?
Berdasar pada penalaran penulis. Orde baru membangun kerangka demokrasi yang sangat mengekang sehingga dengan kerangka itu kemudian mengugurkan makna demokrasi itu sendiri maka muncullah perlawanan dari seluruh elemen bangsa terutama yang terkena implikasi dari upaya pengekangan itu.
Contoh real seperti apa orde baru itu mengekang, adanya kebijakan NKK/BKK yang mana pada saat itu sangat mengekang kebebasan mahasiswa, pembatasan jumlah partai politik yang mengekang politisi yang menginginkan tatanan demokrasi yang terbuka. Lain lagi masalah korupsi kolusi dan nepotisme.
Selanjutnya runtuhnya orde baru, tidak dengan sendirinya menihilkan masalah baru. Inilah masa yang disebut masa reformasi, mencakupi kebebasan informasi, didukung oleh teknologi seperti facebook dan teman temannya, dengan segala kekurangan kelebihannya, yang pada akhirnya dimanuver dengan kebijakan UU UT.
Rangkain dari kata ke kalimat lalu jadi paragraf ini tentu atas dasar kebebasan berpendapat itu juga, pejuang reformasi berjuang untuk itu maka selayaknya kebebasan itu dinikmati sebagai hasilnya. Sama halnya dengan terbentuknya partai politik yang jumlahnya lumayan banyak tentunya itu semua implikasi dari reformasi juga.
Disini penulis tidak akan berbicara soal bagaimana secara spesifik reformasi melahirkan berbagai macam sistem politik yang dirumuskan dalam kerangka demokrasi yang sedang dibangun diindonesia. Namun penulis akan berbicara soal bagaimana proses politik terjadi seiring dengan terbukanya ruang untuk terlibat secara politik dalam demokrasi saat ini.
' Dari rakyat untuk rakyat ' itu makna klasik tentang demokrasi yang tentunya menjadi acuan bersama itu artinya bahwa secara prosedural pengangkatan perwakilan rakyat itu dipilih secara lansung dan bebas dalam makna yang lebih luas namun apakah rakyat cukup cerdas dalam pengambilan keputusan kepada siapa seharusnya pilihan itu dijatuhkan dari usungan partai politik misal dipilkada, dipilpres dan pileg.
Penulis teringat dengan argumen dibuku yang berjudul Negeri Diujung Tanduk hal_53 ' bahwa tidak ada demokrasi bagi orang bodoh ' rakyat yang cerdas tentu melakukan proses penalaran soal apa implikasi pada pilihannya akan tetapi bagaimana dengan rakyat dengan keterbatasan kesadaran politisnya, itu kemudian dikelabui oleh pelaku politik.
Tidak jarang dari politisi itu hanya berfikir soal cara apa yang paling efektif untuk dijual pada rakyat, seperti jual janji dan jual slogan, bahkan kadang dengan cara membeli rakyat melaui taktik serangan fajar tapi tentu itu tidak secara umum bahwa penulis tetap optimis bahwa masih banyak politisi yang seluruh perjuangannya untuk kesejahteraan rakyat.
Terakhir apakah rakyat masih percaya pada slogan politisi? Atau rakyat tidak lagi percaya pada slogan politisi? Jawaban itu ada pada rakyat!.
Penulis : Arman kader IPMAL, PMII Pinrang.