Sariansa Bin Mapetani
|
OPINI,--Dari fanpage Sariansa BIN Mapetani – Ridho Dunia aktivisme sejatinya hanyalah jembatan, penghubung dari satu etape hidup ke etape hidup yang lain. Semacam padepokan yang menjadi ruang transit bagi setiap mahasiswa yang memilih jalan aktivisme.
Pilihan itu tentu dilatari banyak motif. Tak semua yang mencemplungkan diri sebagai aktivis terdorong karena motivasi ideal. Ada bahkan yang tergerak karena sekadar mengisi waktu luang, ada bahkan yang merasa terjebak.
Tapi apapun itu, hidup dalam dunia aktivisme memiliki romantismenya sendiri. Tak jarang yang terjebak dalam zona nyaman, dan akhirnya gagal move on. Selamanya menjadi aktivis. Padahal, dunia aktivisme hanyalah jembatan. Sekali lagi hanyalah jembatan.
Dalam dunia aktivisme itu, setiap aktivis ditempa oleh paket kurikulum yang sama. Dilatih kemampuan manajerial, diasah bakat kepemimpinan mengorganisir, diajar kemampuan komunikasinya, hingga kemampuan untuk berempati dan berbela rasa. Hal ihwal yang menjadi bekal mengarung setelahnya.
Dengan bekal itu, setiap orang yang memilih menjadi aktivis harus bisa menentukan, jalan hidup mana yang dipilih setelahnya. Ada yang menjadi politisi, ada yang menjadi birokrat, ada yang banting stir menjadi pengusaha, tapi ada juga yang tetap setia menjadi aktivis.
Pada diri mereka, aktivisme melekat sebagai identitas sekaligus mewarnai laku aktivitasnya dalam lapangan hidup yang baru. Anda bisa melihat dengan terang, beda yang tegas antara birokrat biasa dan birokrat mantan aktivis. Pembeda yang tajam antara pengusaha mantan aktivis dan pengusaha biasa, pun juga pada politisi. Mantan aktivis selalu punya warna karakter yang berbeda.
Laku yang demikian bisa anda temukan pada diri banyak orang. Idealitas nilai aktivisme menjadi suluh yang menuntun mereka pada jalan hidup baru yang dipilihnya. Termasuk dalam diri Sariansa.
Ada yang tak lazim pada jalan baru yang dipilihnya. Jika banyak aktivis lain memilih untuk lansung terjun dalam panggung politik, Sariansa berbeda. Ia memilih jalan yang memutar. Pulang kampung, merintis usaha, dan mendirikan koperasi.
Sarinsa sadar betul, tanggung jawab aktivisme melekat sepanjang hayat. Pengabdian pada masyarakat adalah manifestasi paling kongkrit dari tanggung jawab etik seorang aktivis.
Dengan bekal kemampuan yang dimilikinya, ia paham betul, keterbatasan akses perbankan dan permodalan adalah problem laten yang menghimpit ekonomi masyarakat kecil. Tak sampai di situ, akar masalah ini adalah celah yang kemudian menumbuh suburkan praktek rentenir di kampung-kampung.
Dalam situasi yang semacam itu, Sariansa memulai usahanya. Mendirikan koperasi, yang kata Bung Hatta, adalah basis rill yang menjadi nyawa dari konsep ekonomi kerakyatan. Di titik ini, beda antara pengusaha yang mantan aktivis dan pengusaha biasa, semakin terang benderang. Bagi Sariansa, menyelamatkan masyarakat dari jerat rentenir adalah tujuan utama, sedangkan keuntungan bisnis hanyalah bonus perjuangan.
Sekian tahun berjalan, koperasi Sariansa tumbuh sehat secara ekonomi. Margin profitnya stabil. Dan yang terpenting, ada ribuan nasabah kecil yang terbebas dari jerat rentenir dan puluhan karyawan yang mendapat lapangan pekerjaan.
Seperti pepatah. Sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Bisnis Sariansa tetap berjalan, tanggung jawab etik seorang aktivis tetap terjaga.
Tapi dunia aktivis memang tak jauh dari glamornya sorot lampu politik. Ujung kelokan jalan memutar yang dipilih Sariansa tiba di persimpangan; Meneruskan usaha Koperasi, atau memperjuangkan aspirasi di jalur legislasi?
Sariansa bulat di pilihan yang kedua. Perbaikan hanya bisa terjadi jika hulu kebijakan dirumuskan oleh orang yang paham benar apa yang menjadi problem masyarakat. Memperkuat sendi ekonomi kerakyatan adalah langkah awal mendorong pemerataan kesejahteraan ekonomi.
Dan di titik kordinat politik itu, kemudi perjuangan Sariansa hari ini sedang diarahkan.
#Ridho
#PejuangKoperasi