Penulis : Agung perwira Alim |
OPINI,--Di tahun 2018 yang katanya tahun politik, dimana 171 daerah melaksanakan pilkada serentak di Indonesia. Khususnya di sulsel ada 13 kab/kota termasuk gubernur melaksanakan pilkada. Pesta demokrasi memunculkan kelompok-kelompok baru yang fanatik terhadap calon kepala daerah yang berlaga memperebutkan orang nomor satu di daerahnya masing-masing. Kritikan atau saran dilakukan oleh pendukung, simpatisan mengajarkan pendidikan politik terhadap masyarakat, adanya saling menghargai tetapi jika sebaliknya akan menimbulkan hal-hal negatif pula.
Dalam kamu besar bahasa indonesia menyebutkan bahwa fanatik adalah teramat kuat kepercayaan (keyakinan) terhadap ajaran (agama, politik, dan sebagainya). Fanatisme dipandang sebagai penyebab munculnya perilaku kelompok yang tidak jarang menimbulkan menyudutkan kelompok tertentu atau individu.
Bila fanatisme disalah gunakan, hal ini tak sesuai dengan kultur kita sebagai masyarakat sulawesi selatan yang merupakan daerah dengan menjunjung tinggi nilai-nilai budaya sipakatau (menghormati sesama), sipakainge (saling mengingatkan), sipakalebbi (saling menghargai), sipatokkong (saling membantu). Fanatik terhadap calon kepala daerah adalah hal yang positif menurut saya, memperkenalkan pilihannya di sosial media dengan kreatif dan inovatif.
Perdebatan figur politik di media sosial tidak sedikit yang jauh dari kata sehat. Berbagai media sosial dipenuhi dengan ujaran kebencian, bullying bahkan menjadi lahan penyebaran berita bohong hanya untuk membela jagoannya masing-masing. Alhasil, dampak dari hal ini membuat masyarakat tidak lagi kritis dalam merespon dan menyampaikan opini serta tidak objektif dalam merespon informasi yang sudah di share.
Fanatik mengkritik figur politik wajar-wajar saja apabila mempunyai data yang akurat dan sumbernya terpercaya, agar masyarakat bisa membandingkan mana figur yang tepat untuk dipilih pada pemilihan kepala daerah. Demam fanatik terhadap figur politik merupakan keyakinan tersendiri masyarakat dengan figur politik, mungkin dia mengidolakan atau mungkin ada hubungan kekerabatan.
Di negara demokrasi seperti ini pembuat kebijakan harus kebal terhadap kritikan khususnya sebagai pejabat publik. Paradigma masyarakat terhadap kritikan itu biasanya dianggap kontra terhadapnya atau lawan. Seperti dikatakan rekan saya sesama penikmat politik di salah satu sosial media.
"Ketika mengkritik seorang pemimpin salah satu kesyukuranku ialah mengingatkan pemimpin ketika salah dan menunjukkan fakta sehingga masyarakat tidak larut dalam dunia kebohongan".
Apa yang dikatakan di atas ada benarnya bahwa mengkritik politisi yang memimpin memberikan kepedulian terhadapnya. Kita ambil contoh, misalnya ketika jagoannya diserang dengan isu yang tidak sedap, maka pendukungnya cenderung akan mencari informasi yang tak diketahui keabsahannya tanpa peduli benar atau salah informasi tersebut. Hal ini tentu dapat membunuh nalar dan akal sehat.
Sebenarnya saya juga fanatik tetapi di dunia sepakbola saja, berbicara sepakbola saya fanatik tim kebanggaan sulawesi selatan yaitu PSM Makassar. Fanatik mendukung menonton PSM berlaga salah satu kepuasan tersendiri, berbeda halnya jika melakukan konvoi di jalan membawa bendera bahkan mencat tubuhnya mungkin itu fanatik yang berat.
Mengkritik dan fanatik merupakan hal yang lumrah di negara demokrasi, kebebasan berpendapat sudah aturannya dalam bernegara.(*)
Penulis : Agung perwira Alim
"Komunitas Paccarita Politik"