Penulis. : Musaddiq Mahasiswa FT UNM |
Musaddiq : Kartini Modern
OPINI,-- Dulu, salah satu sahabat bertanya kepada Rasulullah "wahai Rasul siapakah yang teman yang paling dekat denganku?
Rasulullah menjawab ummuka (ibumu)
Kemudian siapa lagi yaa rasul ?
Ummuka..
Kemudian siapa lagi yaa rasul?
Ummuka
Siapa lagi yaa rasul
Abuuka..(bapakmu)".
Jauh hari sblumnya Rasulullah mengisyaratkan bgtu strategisnya posisi dan peran perempuan hingga Rasulullah menyebutnya tiga kali berturut2. Lalu kemudian menyebut lelaki sekali.
21 April sebuah moment yang tidak asing lagi bagi bangsa indonesia, sosok perempuan yang mencerminkan peran kaumnya dalam perubahan dan kemajuan.
"Selamat hari Kartini"
Rade Adjen Kartini adalah seorang pahlawan atau pejuang masa lalu bagi kaumnya. Kartini adalah sosok inspiratif bagi kaum wanita saat ini. Jika kita melihat atau sekedar pernah mendengarkan cerita sejarah saat kita duduk di bangku sekolah dasar, mungkin kita bisa menceritakan kembali, bahwa perjuangan seorang kartini tidaklah mudah dan dianggap enteng oleh banyak orang.
Ia memperjuangkan dimana perempuan mempunyai hak yang sama di mata lelaki serta menggulingkan budaya partiarkhi. zaman tersebut memegang erat budaya partiarkhi. Laki-laki sebagai pemimpin atau kepala keluarga memiliki otoritas yang meliputi kontrol terhadap sumber daya ekonomi, dan suatu pembagian kerja secara seksual dalam keluarga. hal ini menyebabkan wanita memiliki akses yang lebih sedikit di sektor publik dibandingkan lelaki.
Kalau kita melihat pada zaman kartini, dan mendengar “perempuan“ kita telah tertuju kepada persoalaan gender, rendahnya untuk mengambil pendidikan, persoalan pelecehan, dan sebagainya. Dan disinilah kartini memperjuangkan perempuan agar mempunyai hak dan tidak terbelakang sehingga perempuan pantas untuk dipandang dan di hargai. Budaya permpuan pada masa lalu seperti kita ketahui yaitu perempuan tidak diperbolehkan untuk berpendidikan tinggi karena ahkir dari seorang wanita ialah hanya untuk memasuki ruang lingkup dapur dan ranjang, Bahkan bbrpa kalangan berpendapat bahwa “perempuan jika siang hari berperan sebagai pembantu, sedangkan pada malam hari sebagai “penghangat” tubuh suami “.
Mirisnya nasib perempuan pada masa lalu seharusnya bisa dijadikan pelajaran penting bagi perempuan era modern sekarang ini, sudah seharusnya lah perempuan pada masa sekarang ini berkaca pada sejarah perjuangan Kartini.
Meskipun saat ini perempuan modern sudah terbebaskan dari budaya partiarkhi, diperbolehkan untuk berpendidikan tinggi. namun, saat ini masih ada saja wanita yang belum mendapatkan haknya. Persoalan kekerasan, pelecehan seksual dominasi laki-laki atas perempuan masih akan kita temui pada era masa kini, pada sektor kehidupan perempuan kadang masih harus menanggung beban kerja ganda pemerataan terhadap pendidikan, akses yang sama pada sektor publik masih menjadi tuntutan yang belum maksimal terpenuhi bagi perempuan pada era masa kini.
pemerataan terhadap pendidikan, akses yang sama pada sektor publik masih menjadi tuntutan yang belum maksimal terpenuhi bagi perempuan pada era masa kini.
Dan hasilnya adalah bahwa perjuangan wanita untuk hidup sama dengan laki-laki, masih menjadi suatu harapan bagi kaum wanita. Maka pantaslah posisi perempuan dalam era sekarang ini menjadi sorotan dari berbagai kalangan.
Bahkan perempuan modern saat ini sudah banyak yang mulai mendidik anak-anaknya dengan norma androgini, yakni norma lelaki dan perempuan yang memberikan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan hal-hal lain pada dirinya, tanpa dibatasi peran yang berlaku.
Melalui norma ini, anak laki-laki bisa mengekspresikan kelembutan dan anak perempuan bisa mengekspresikan keberanian. Memang kita harus diakui, pandangan semacam itu tidak selamanya negatif. Setidaknya, nilai etika, kesetiaan, kelembutan, dan keharmonisan merupakan nilai positif yang terpancar dari sosok perempuan.
Pertanyaan yang sering muncul ialah bagaimana mewujudkan sosok perempuan yang tidak kehilangan identitasnya atau jati diri di tengah-tengah kuatnya arus transformasi budaya di era modern? Tentu saja, kita sebagai perempuan haruslah bersikap mandiri, kreativ, profesional dan bisa menepati dimana kita bisa menepatkan peran kita sebagai ibu atau lainnya.
Dengan demikian, wanita memiliki andil setara dengan pria dalam menggapai kesempurnaan diri dari seluruh aspeknya, karena ruhani manusia tidak memiliki label jenis kelamin. Artinya, hakikat kemanusiaan bukanlah pria dan bukan pula wanita. Melainkan, sejauh mana aktualisasi potensi kemanusiaanlah yang menjadi ukuran derajat manusia di sisi Sang Pencipta. Dan tentu saja kartini masa kini tidak lain ialah ibu kita sendiri. Ibu yang menjadi panutan anak-anaknya dan bisa menjalankan kewajiban sebagai ibu rumah tangga, seorang istri dan wanita karir dengan seimbang.(***)
Penulis. : Musaddiq Mahasiswa FT UNM