[caption align="alignnone" width="651"]Penulis: Muhammad Aras Prabowo (Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana Jakarta)[/caption]
Perspektif Pajak Dalam Kerajaan Bone
SAHABAT NEWS,--Bone merupakan salah satu kerajaan terbesar di Sulawesi Selatan, sama dengan Kerajaan Gowa dan Kerajaan Luwu. Namun tidak bisa diabaikan bahwa selain ketiga kerajaan besar terdapat banyak kerajaan-kerajaan yang tersebar diberbagai pelosok daerah Sulawesi Selatan. Saat ini Kerajaan-kerajaan tersebut telah berubah menjadi pemeritahan yang dipimpin oleh Kepala Derah (Bupati/Walikota).
Wilayahnya pun telah terpecah-pecah dan memiliki pemerintah tersendiri. Seperti Kerajaan Luwu, saat ini telah terbagi menjadi beberapa wilayah: Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Luwu Utara dan Kota Palopo. Sedangkan Kerajaan Gowa menjadi dua wilayah yaitu Kabupaten Gowa dan Kota Makassar. Dari Tiga Kerajaan besar, hanya Kerajaan Bone yang masih tetap satu wilayah.
Kerajaan yang ada sejak dulu ternyata telah memiliki sistem keuangan, meskipun dengan segala keterbatasannya. Misalnya mengenai perpajakan, ternyata pajak telah berlaku dalam lingkungan kerajaan Bone sejak lama.
Pajak dalam kerajaan Bone disebut dengan sima yaitu setoran dari rakyat untuk kerajaan atas kepemiliki harta. Bahkan dalam struktur kerajaan Bone secara khusus ada yang membidani masalah keuangan.
Hasil wawancara dengan Andi Baso Bone, salah satu Tokoh adat di Kabupaten Bone yang memiliki perhatian yang sangat besar terhadap nilai-nilai kebudayaan dalam masyarakat bugis Bone menjelaskan bahwa departemen keuangan merupakan salah satu struktur yang telah ada dalam kerajaan Bone, meskipun dengan istilah yang berbeda. Tanggung jawab tersebut diemban oleh Arung Macege salah Seorang yang masuk dalam lingkaran Ade Pitue (Adat Tujuh).
Ade Pitue yaitu tujuh orang pejabat adat yang bertindak sebagai Penasehat Raja, Mereka adalah perwakilan dan representasi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat melalui lembaga adat. Segala sesuatu yang terjadi dalam kerajaan dimusyawarahkan oleh Ade Pitue dan hasil keputusan musyawarah disampaikan kepada raja untuk dilaksanakan. Selain itu di dalam penyelanggaraan pemerintahan sangat mengedepankan azas kemanusiaan dan musyawarah.
Kembali pada pokok bahasan utama antara Pajak dan Sima dalam Kerajaan Bone. Bicara mengenai Pajak, tentu kita sudah melakukannya setahun sekali, sebulan sekali atau bahkan setiap hari. Seperti bayar pajak kendaraan setahun sekali, Pajak Penghasilan, Pajak Bangunan dan Bumi atau yang sering kita lakukan seperti PPN (Pajak Pertambahan Nilai) setiap kali berbelanja di departement store atau supermarket, dan lain sebagainya.
Menurut UU No.28 Tahun 2007 Pasal 1 Tentang Ketentuan Umum dan Perpajakan bahwa Pajak merupakan suatu konstribusi wajib kepada negara yang terhutang oleh setiap orang maupun badan yang sifatnya memaksa namun tetap berdasarkan pada Undang-Undang, dan tidak mendapat imbalan secara langsung serta digunakan untuk kebutuhan negara juga kemakmuran rakyatnya.
Waluyo (2013:2) mengartikan sebagai iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (Undang-Undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunananya adalah untuk membiayai pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Jika dicermati dalam kedua pengertian pajak di atas bahwa tujuan utama dari pemungutan pajak adalah untuk membiaya pengeluaran negara dalam memakmurkan rakyatnya. Seperti diketahui bersama, sumber pendapatan utama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berasal dari pemungutan pajak.
Pendapatan dari Pajak menyumbang lebih dari 70 % dalam penghasilan negara. Sedangkan Sima dalam kerajaan Bone memang juga berbentuk iuran, tapi tidak bersifat memaksa seperti pajak yang berlaku sekarang. Penentuan tarifnya didasarkan atas Prinsip Asitinajang (Kewajaran) berdasarkan kepemilikan harta.
Prinsip Asitinajang dalam membayar sima yaitu tidak membayar terlalu tinggi (menghindari sikap sombong) juga tidak membayar terlalu rendah (menghindari sikap kikir), akan tetapi sesuai dengan prentase kepemilikan harta (wajar). Sehingga rakyat (wajib pajak) dalam mengeluarkan sima kepada raja bervariasi.
Sima tidak mengenal denda, jika rakyat mengalami keterlambatan dan kekurangan dalam membayar sima.
Sima dalam kerajaan Bone tidak seperti pajak dijadikan sebagai sumber utama pendapatan negara yang kadang mencekik wajib pajak, melainkan Sima merupakan alat kontrol kerajaan untuk kesejahteraan rakyat.
Misalnya, jika rakyat membayar sima lebih rendah dari biasanya, itu pertanda bahwa ada masalah di dalam masyarakat. Untuk itu raja atau petugas kerajaan akan turun untuk mencari tahu masalah apa yang terjadi. Contohnya padi tidak mendapatkan asupan air dengan teratur sehingga gagal panen dan berimbas pada penurunan pembayaran Sima rakyat.
Maka dengan langkah yang akan dilakukan oleh kerajaan yaitu membangun pengairan untuk sawah agar penghasilan rakyat kembali pulih serta pambayaran simanya kepada kerajaan akan kembali stabil. Bisa juga masyarakat mengalami kendala yang lain, dan kerajaan selalu hadir di tengah-tengah mereka untuk meberi solusi dan jalan keluar. Artinya, selain alat kontrol sima merupakan salah satu tolok ukur bagi kesejahteraan rakyat.
Kesimpulannya bahwa antara Pajak dan Sima dalam kerajaan Bone merupakan Iuran Rakyat (wajib pajak) kepada pemerintah untuk digunakan dalam membiayai negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun, dalam realitasnya pajak tidak selalu berujung kepada kesejahteraan rakyat tapi justru mencekik rakyat.
Sedangkan Sima, betul-betul menjadi alat kontrol kerajaan saat itu untuk mensejahterakan rakyat, tidak mencekik tapi mengayomi rakyat untuk mewujudkan kesejahteraanya.
Penulis: Muhammad Aras Prabowo (Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana Jakarta)
Perspektif Pajak Dalam Kerajaan Bone
SAHABAT NEWS,--Bone merupakan salah satu kerajaan terbesar di Sulawesi Selatan, sama dengan Kerajaan Gowa dan Kerajaan Luwu. Namun tidak bisa diabaikan bahwa selain ketiga kerajaan besar terdapat banyak kerajaan-kerajaan yang tersebar diberbagai pelosok daerah Sulawesi Selatan. Saat ini Kerajaan-kerajaan tersebut telah berubah menjadi pemeritahan yang dipimpin oleh Kepala Derah (Bupati/Walikota).
Wilayahnya pun telah terpecah-pecah dan memiliki pemerintah tersendiri. Seperti Kerajaan Luwu, saat ini telah terbagi menjadi beberapa wilayah: Kabupaten Luwu, Kabupaten Luwu Timur, Kabupaten Luwu Utara dan Kota Palopo. Sedangkan Kerajaan Gowa menjadi dua wilayah yaitu Kabupaten Gowa dan Kota Makassar. Dari Tiga Kerajaan besar, hanya Kerajaan Bone yang masih tetap satu wilayah.
Kerajaan yang ada sejak dulu ternyata telah memiliki sistem keuangan, meskipun dengan segala keterbatasannya. Misalnya mengenai perpajakan, ternyata pajak telah berlaku dalam lingkungan kerajaan Bone sejak lama.
Pajak dalam kerajaan Bone disebut dengan sima yaitu setoran dari rakyat untuk kerajaan atas kepemiliki harta. Bahkan dalam struktur kerajaan Bone secara khusus ada yang membidani masalah keuangan.
Hasil wawancara dengan Andi Baso Bone, salah satu Tokoh adat di Kabupaten Bone yang memiliki perhatian yang sangat besar terhadap nilai-nilai kebudayaan dalam masyarakat bugis Bone menjelaskan bahwa departemen keuangan merupakan salah satu struktur yang telah ada dalam kerajaan Bone, meskipun dengan istilah yang berbeda. Tanggung jawab tersebut diemban oleh Arung Macege salah Seorang yang masuk dalam lingkaran Ade Pitue (Adat Tujuh).
Ade Pitue yaitu tujuh orang pejabat adat yang bertindak sebagai Penasehat Raja, Mereka adalah perwakilan dan representasi untuk memperjuangkan kepentingan rakyat melalui lembaga adat. Segala sesuatu yang terjadi dalam kerajaan dimusyawarahkan oleh Ade Pitue dan hasil keputusan musyawarah disampaikan kepada raja untuk dilaksanakan. Selain itu di dalam penyelanggaraan pemerintahan sangat mengedepankan azas kemanusiaan dan musyawarah.
Kembali pada pokok bahasan utama antara Pajak dan Sima dalam Kerajaan Bone. Bicara mengenai Pajak, tentu kita sudah melakukannya setahun sekali, sebulan sekali atau bahkan setiap hari. Seperti bayar pajak kendaraan setahun sekali, Pajak Penghasilan, Pajak Bangunan dan Bumi atau yang sering kita lakukan seperti PPN (Pajak Pertambahan Nilai) setiap kali berbelanja di departement store atau supermarket, dan lain sebagainya.
Menurut UU No.28 Tahun 2007 Pasal 1 Tentang Ketentuan Umum dan Perpajakan bahwa Pajak merupakan suatu konstribusi wajib kepada negara yang terhutang oleh setiap orang maupun badan yang sifatnya memaksa namun tetap berdasarkan pada Undang-Undang, dan tidak mendapat imbalan secara langsung serta digunakan untuk kebutuhan negara juga kemakmuran rakyatnya.
Waluyo (2013:2) mengartikan sebagai iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (Undang-Undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunananya adalah untuk membiayai pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Jika dicermati dalam kedua pengertian pajak di atas bahwa tujuan utama dari pemungutan pajak adalah untuk membiaya pengeluaran negara dalam memakmurkan rakyatnya. Seperti diketahui bersama, sumber pendapatan utama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berasal dari pemungutan pajak.
Pendapatan dari Pajak menyumbang lebih dari 70 % dalam penghasilan negara. Sedangkan Sima dalam kerajaan Bone memang juga berbentuk iuran, tapi tidak bersifat memaksa seperti pajak yang berlaku sekarang. Penentuan tarifnya didasarkan atas Prinsip Asitinajang (Kewajaran) berdasarkan kepemilikan harta.
Prinsip Asitinajang dalam membayar sima yaitu tidak membayar terlalu tinggi (menghindari sikap sombong) juga tidak membayar terlalu rendah (menghindari sikap kikir), akan tetapi sesuai dengan prentase kepemilikan harta (wajar). Sehingga rakyat (wajib pajak) dalam mengeluarkan sima kepada raja bervariasi.
Sima tidak mengenal denda, jika rakyat mengalami keterlambatan dan kekurangan dalam membayar sima.
Sima dalam kerajaan Bone tidak seperti pajak dijadikan sebagai sumber utama pendapatan negara yang kadang mencekik wajib pajak, melainkan Sima merupakan alat kontrol kerajaan untuk kesejahteraan rakyat.
Misalnya, jika rakyat membayar sima lebih rendah dari biasanya, itu pertanda bahwa ada masalah di dalam masyarakat. Untuk itu raja atau petugas kerajaan akan turun untuk mencari tahu masalah apa yang terjadi. Contohnya padi tidak mendapatkan asupan air dengan teratur sehingga gagal panen dan berimbas pada penurunan pembayaran Sima rakyat.
Maka dengan langkah yang akan dilakukan oleh kerajaan yaitu membangun pengairan untuk sawah agar penghasilan rakyat kembali pulih serta pambayaran simanya kepada kerajaan akan kembali stabil. Bisa juga masyarakat mengalami kendala yang lain, dan kerajaan selalu hadir di tengah-tengah mereka untuk meberi solusi dan jalan keluar. Artinya, selain alat kontrol sima merupakan salah satu tolok ukur bagi kesejahteraan rakyat.
Kesimpulannya bahwa antara Pajak dan Sima dalam kerajaan Bone merupakan Iuran Rakyat (wajib pajak) kepada pemerintah untuk digunakan dalam membiayai negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun, dalam realitasnya pajak tidak selalu berujung kepada kesejahteraan rakyat tapi justru mencekik rakyat.
Sedangkan Sima, betul-betul menjadi alat kontrol kerajaan saat itu untuk mensejahterakan rakyat, tidak mencekik tapi mengayomi rakyat untuk mewujudkan kesejahteraanya.
Penulis: Muhammad Aras Prabowo (Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Mercu Buana Jakarta)